Join The Community

Search

Wednesday, August 3, 2011

Sedulur Papat Kalima Pancer

Dalam ajaran Jawa dikenal istilah "Sedulur pdpat kalima pancer". Pancer adalah diri kita. Setiap diri manusia mempunyai empat saudara. Ketika manusia masih berupa janin di dalam perut ibunya, keempat saudara ini nyata. Kasat mata. Bisa dilihat dengan mata kepala. Dapat dilihat dengan mata telanjang. Lho, apa itu saudara empat? Marilah kita simak bait tembang Sunan Kalijaga berikut ini.



Ana kidung akadang premati among tuwuh ing kuwasanira nganakaken saciptane kakang kawah puniku
kang rumeksa ing awak mami anekakaken sedya pan kuwasanipun adhi ari-ari ika
kang mayungi ing laku kuwasaneki anekaken pangarah//
Ponang getih ing rahina wengi angrowangi Allah kang kuwasa andadekaken  karsane
puser kuwasanipun nguyu-uyu sambawa mami nuruti ing panedha kuwasanireku
jangkep kadang ingsun papat kalimane pancer wus dadi sawiji nunggal sawujudingwang//
Ada sabda tentang saudara kita yang merawat dengan sung­guh-sungguh. Yang memelihara berdasarkan kekuasaannya. Apa yang dicipta terwujud. Ketuban itu, yang menjaga badan saya. Yang menyampaikan kehendak, dengan kuasanya. Dinda ari-ari itu, yang memayungi semua tindakan berdasarkan ke­kuasaannya/ yang menyampaikan tujuan.
Sedangkan darah siang dan malam membantu Allah yang kuasa. Mewujudkan Kehendak-Nya. Pusar kekuasaannya, me­merhatikan sungguh-sungguh diriku, memenuhi permintaan­ku. Kekuasaannya itu. Maka, lengkaplah empat saudara saya, kelimanya sebagai pusat. Sudah menjadi satu. Manunggal de­ngan wujudku.


Dari kedua bait kidung itu, jelas sudah apa yang dinamakan saudara empat. Semuanya merupakan saudara kandung ketika manusia masih berupa janin. Mereka semua menjaga pertumbuhan manusia di dalam kandungan ibu. Anak yang pertama tentu saja kakak dari sang janin, yaitu ketuban atau kawah. Ketika seorang ibu melahirkan, yang pertama kali keluar adalah ketuban. Karena itu disebut saudara tua. Dia berfungsi sebagai penjaga badan sang janin di dalarn rahim.

Setelah itu, saudara sekandung yang lebih muda adalah ari-ari, tembuni atau plasenta. Pembungkus janin di dalam rahim. Dinyatakan bahwa ari-ari memayungi tindakan sang janin di dalam perut ibu. Yang menyampaikan ke tujuan. Begitu bayi lahir, maka ari-ari itu ikut ke luar. la mengantarkan sampai ke tujuan. Yaitu lahir dengan selamat disertai pengorbanan dirinya.
Nah, berikutnya adalah darah. Inipun saudara sang janin. Tanpa ada darah janin bukan saja tidak bisa tumbuh, tapi juga akan mengalami keguguran. Dalam kata-kata Sunan, darah disebut membantu Allah siang dan malam. Untuk mewujudkan kehendak Tuhan. Jangan salah pengertian, lho! Allah sendiri hakikatnya tidak memerlukan bantuan siapa pun. Ini dari segi hakikat. Tapi dari segi syariat, dari segi mekanisme alamnya, kehendak Allah untuk menumbuh-kem­bangkan janin hingga menjadi bayi itu dilewatkan darah. Seolah­olah darah itu nyawa bagi janin.

Saudara yang keempat adalah pusar. Jawa: puser atau urudel. Dalam bahasa Jawa Kuno, istilah untuk pusar adalah nabi. Yang dimaksudkan dengan pusar, tentu saja tall pusar. Sedangkan pusar sendiri sebenarnya hanyalah bekas menempelnya tali pusar pada perut. Ya, tali pusarlah yang menghubungkan antara perut bayi dalam rahim dan ari-ari. Ia sebagai slat untuk menyalurkan makanan dari ibu ke bayi dalam kandungan. Dengan tali pusar itu bayi mendapatkan pasokan makanan dari induknya. Pusar berfungsi untuk memenuhi permintaan si jabang bayi.

Umumnya orang menganggap bahwa ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusar itu hanya wahana. Atau, alat yang diperlukan untuk per­tumbuhan jabang bayi di dalam perut. Begitu bayi dilahirkan, maka semua itu tak berfungsi lagi. Beres sudah jika bayi telah lahir. Tak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan. Dan, yang demikian ini me­rupakan pandangan materialistik. Pandangan yang serba duniawi. Me­nurut pandangan ini apa yang bersifat spiritual itu tidak ada. Ajaran saudara empat juga tidak terdapat di Jazirah Arabia. Karena basis kepercayaan mereka sebelum kedatangan Islam, adalah pandangan dunia semata.
Lain dengan pandangan Jawa. Pandangan yang telah diterima orang Jawa yang beragama apa pun. Yang saya maksud, orang Jawa yang mengerti pandangan Jawa, meski beragama apa pun tetap me­mercayai bahwa dalam hidup di dunia ini saudara empat itu tetap menjaga balk masih di kandungan maupun di alam nyata. Yang kembali ke anasir-anasir bumf, air, udara, dan api hanyalah keempat jasadnya. Begitu bayi lahir, jasad saudara empat itu kembali ke asalnya. Air ketuban dan darah dibersihkan, begitu bayi dilahirkan. Ari-ari dan potongan tali pusar dipendam atau dihanyutkan di sungai. Jasad yang terlahir hidup adalah bayinya. Sedangkan secara metafisik saudara empat kita itu tetap menjaga kita hingga kita mati.

Apa pandangan Jawa itu bertentangan dengan ajaran Islam? Atau, pandangan Jawa itu tidak ada di dalam Islam? Yakinlah saudara, bahwa pandangan tersebut ada di dalam Alquran. Alias, ada di dalam Islam. Cuma, kita yang beragama Islam kurang mau memerhatikan ayat-ayat yang bernuansa metafisik. Kita lebih mudah terjebak ayat­ayat yang bersifat lahiriah. Coba, kita perhatikan ayat "In kullu nafsin lammd 'alayha hr2fzzh, setiap dirt niscaya ada penjaganya."' Atau, yang ada pada ayat lainnya: "Wa huwa al-qahir fawq abddih wa yursil
`alaykum hafazhah hattd id,za jd'a ahadakum al-mawt tawaffathu ru­sulund wa hum Id yufarrithun."
Dialah yang bcrkttasa atas semua hamba-Nya. Dan Dia mengutus kepada kalian penjaga-penjaga untuk melindungimu. Jika seseorang su­dah waktunya mati, maka utusan-utusan Kami itu mewafatkannya tanpa
keliru.
Nah, dari ayat itu gamblang sekali. Jelas sekali keterangannya! Ternyata, dalam model kehidupan di alam ini, Tuhan memberikan penjaga-penjaga kepada setiap diri. Meskipun sudah disebutkan di awal ayat bahwa Tuhan itu Mahakuasa atas segala hamba-Nya, tapi ada mekanisme alam yang telah ditetapkan-Nya. Tuhan tidak ber­tindak secara langsung. Ada beberapa penjaga yang dikirimkan kepada setiap orang. Bukan satu penjaga buat seorang. Tapi beberapa penjaga! Tentu saja penjaga-penjaga ini tidak terlihat oleh mata jasmani. Karena mereka berupa roh. Kalau toh ada orang yang dapat melihat mereka, itu disebabkan yang bersangkutan berjuang keras untuk melihat me­reka. Atau, orang itu berada dalam situasi yang menyebabkan saudara­saudara rohaninya itu menampakkan diri. Itupun hanya dirinya yang bisa melihat mereka. Orang lain di sekitarnya tidak melihat mereka.

Dalam agama Kristen pun disebutkan bahwa setiap orang di dunia ini diiringi malaikat (Matius 18: 10; Kisah Rasul 12: 15). Ma­laikat menyertai manusia untuk menjaganya. Untuk memberikan per­lindungan, sepanjang manusianya sendiri berbuat kebajikan. Dijelaskan bahwa anak-anak kecil memiliki malaikatnya di surga. Mengapa di­sebut anak kecil? Karena berbuat sesuai dengan nuraninya. Belum dipengaruhi oleh hawa nafsu clan lingkungannya. Anak kecil memang masih tulus hidupnya. Karena itu kanjeng Nabi Isa a.s. bersabda bahwa seseorang dapat memasuki surga bila dia hidup bagaikan anak kecil. Manusia yang tulus hatinya.

Penjaga itu bertindak secara akurat. Tanpa keliru! Jadi, tidak ada
salah cabut nyawa dalam kehidupan MI. Mengapa? Karena mereka itu ada di sisi kita pada setiap saat, di mana saja. Mbok meski kita bersembunyi di dalam gedung berlapis platina, ya mereka akan me­nunaikan tugas mereka dengan benar. Karena mereka dari awalnya dicipta clan mendapatkan perintah Tuhan untuk menjaganya. Lho, bukankah selama ini yang mencabut nyawa itu malaikat Izrail seorang diri?

Coba perhatikan kedua ayat tersebut di atas. Yang ada itu kata hdfzzh [bentuk tunggall dan hafazhah [bentuk jamak] untuk kata penjaga. Tidak disebut kata malaikat pada kedua ayat itu. Ayat yang pertama menginformasikan bahwa setiap diri itu ada penjaganya. Se­dangkan yang kedua memberitahukan kepada kita bahwa ada beberapa penjaga, bukan cuma dua penjaga, yang akan mewafatkan seseorang bila sudah tiba masa ajalnya. Tanpa keliru! Kata "mewafatkan" sendiri pada mulanya tidak berarti mematikan. Arti asalnya itu menyem­purnakan. Jadi, kalau seseorang mati itu sebenarnya telah lunas apa­apa yang diembannya. Karena itu, mati bunuh diri [karena putus asa dalam menempuh hidup di dunia ini diharamkan oleh setiap agama dan keyakinan. Meskipun di Jepang dulu ada sepuku, kewajiban bunuh diri karena tak mampu memikul tanggung jawab, tapi dalam keadaan normal orang Jepang dilarang untuk melakukan bunuh diri.

0 comments:

Post a Comment

By Sync